Definisi mengenai kota yang sangat terkenal dikemukakan oleh
Wirth. Ia merumuskan kota adalah pemukiman yang relatif besar, padat, dan
permanen, dihuni oleh individu-individu atau orang-orang yang bersifat
heterogen dalam kedudukan sosialnya. Oleh karena, jumlah penduduk dan
kepadatannya, keadaan daerahnya yang merupakan tempat tinggal permanen dan
sifat heterogen di perkotaan, maka hubungan atau interaksi sosial yang ada
menjadi sangat luas dan longgar, cenderung acuh dan tidak pribadi (impersonal
relations).
Masyarakat perkotaan (urban community) dan
masyarakat perdesaan (rural community) dalam masyarakat modern
seringkali dibedakan walaupun dalam masyarakat modern, sekecil apapun suatu
desa, pasti ada pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat yang bersahaja
relatif tidak ada pengaruh dari kota yang masuk. Suatu warga masyarakat
perdesaan mempunyai hubungan atau keterkaitan antara individu yang lebih kuat
dan erat daripada hubungan dengan anggota masyarakat lain. Sistem kehidupan di
masyarakat perdesaan biasanya berkelompok dan berasaskan
kekeluargaan dengan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani.
Terdapat perbedaan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan
khususnya perbedaan akan keperluan atau kebutuhan hidup. Di desa yang
diutamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama kehidupan,
hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah dan
sebagainya. Berbeda dengan orang kota yang mempunyai perbedaan
pandangan. Penduduk kota sudah memandang pemenuhan kebutuhan hidup, sehubungan
dengan pandangan masyarakat sekitarnya (lebih ke pencitraan).
Selain itu, masyarakat perkotaan adalah masyarakat kota yang
jumlah penduduknya tidak tentu serta memiliki sifat dan ciri kehidupan yang
berbeda dari masyarakat perdesaan. Sehubungan dengan perbedaan yang ada dalam
masyarakat perkotaan dengan masyarakat perdesaan, maka perlu disinggung pula
mengenai urbanisasi yang merupakan proses perpindahan penduduk dari desa ke
kota atau dapat pula dikatakan proses terjadinya masyarakat perkotaan serta
modernisasi yang selalu ada bersamaan dengan urbanisasi.
Menurut Evers, Dieter (1982: 49), urbanisasi merupakan salah
satu proses tercepat diantara proses perubahan sosial yang terjadi di seluruh
dunia. Transformasi-transformasi sosial dan demografis bersamaan dengan
tumbuhnya penduduk kota dunia yang selalu meningkat drastis. Dari urbanisasi
tersebut akhirnya juga dapat menyebabkan perubahan struktur sosial dalam
masyarakat pula.
Secara umum, urbanisasi diartikan sebagai suatu proses,
sebagian atau masyarakat dalam skala besar dari penduduk suatu wilayah untuk
berdiam di pusat-pusat kota. Atau dapat juga urbanisasi didefinisikan sebagai:
1. Arus perpindahan
masyarakat ke kota;
2. Pertambahan besar akan
jumlah tenaga kerja non-agraris di sektor industri dan sektor tersier lainnya;
3. Tumbuhnya pemukiman
menjadi kota;
4. Semakin luasnya
pengaruh kota di daerah pedesaan dari segi ekonomi, sosial, kebudayaan, dan
psikologi.
Dalam ilmu pengetahuan sosial lainnya, urbanisasi juga
diartikan sebagai penambahan proses-proses yang bersifat kekotaan.
Terdapat hubungan positif dan nyata antara urbanisasi,
industrialisasi, dan pendapatan perkapita.Selain itu, urbanisasi juga dikaitkan
dengan adanya masyarakat modern dan ketergantungan dari masyarakat modern itu
sendiri terhadap urbanisasi yang umumnya terjadi bersama-sama dengan
modernisasi. Karena urbanisasi sendiri memperpendek proses modernisasi dalam
berbagai cara. Misalnya, menyediakan kontrol politik yang dipusatkan,
merangsang pendidikan dan “melek” huruf, mempermudah koordinasi, dan
menghancurkan faham kedaerahan yang sempit.
Proses urbanisasi boleh dikatakan terjadi di seluruh dunia,
baik negara-negara maju ataupun yang belum. Urbanisasi selain mempunyai akibat
positif juga mempunyai akibat-akibat negatif terutama disebabkan oleh negara
agraris contohnya Indonesia.Hal tersebut salah satunya disebabkan sangat
rendahnya produksi pertanian apabila dibandingkan dengan jumlah manusia yang
digunakan dalam kegiatan produksi tersebut. Faktor kepadatan penduduk dalam
suatu daerah over-populationmerupakan gejala umum di negara agraris yang
secara ekonomis masih terbelakang. Proses dari urbanisasi ini dapat terjadi
secara lambat maupun cepat, tergantung pada keadaan masyarakat yang
bersangkutan yang dalam prosesnya dapat terjadi menyangkut dua aspek, yaitu:
Perubahan masyarakat desa menjadi masyarakat kota.
Pertambahan penduduk kota
yang disebabkan oleh mengalirnya penduduk yang berasal dari desa (pada umumnya
dikarenakan adanya ketertarikan dari penduduk desa terhadap keadaan kota).
Apabila dianalisis sebab-sebab pendorong masyarakat desa
meninggalkan tempat tinggalnya untuk menuju ke kota pada umumnya adalah sebagai
berikut:
1. Lapangan kerja di desa
yang pada umumnya berkurang.
2. Tertekannya pemuda
desa terhadap adat-istiadat yang mengakibatkan cara hidup yang monoton.
3. Tidak banyaknya
kesempatan di desa untuk menambah pengetahuan. Oleh karena itu banyak orang
meninggalkan desa untuk maju.
4. Perkembangan di desa
yang sangat lambat serta reaksi yang penting di bidang spiritual yang kurang
sekali dan belum tentu ada.
5. Adanya keinginan
ekspansi produksi bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain yang belum
tentu diperoleh di desa.
Pendapat lainnya menurut J.W. Schoorl (1982: 266-269),
terjadinya urbanisasi disebabkan oleh tiga hal salah satunya yaitu,
arus perpindahan dari desa ke kota (migrasi), pertambahan penduduk secara
alami, tertariknya pemukiman perdesaan ke dalam konteks kota karena
perkembangan kota yang secara horizontal kuat.
Arus perpindahan masyarakat dari desa ke kota biasanya
dipandang sebagai salah satu faktor penyebab utama yang menjadi dasar proses
urbanisasi. Faktor pendorongnya salah satunya adalah kemiskinan di desa-desa
yang disebabkan cepatnya pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan
kecepatan pertambahan persediaan tanah pertanian baru, mekanisasi pertanian dan
terdesaknya kerajinan rumah di desa-desa oleh produk industri modern.Tekanan
terhadap penduduk desa ini sangat terasa pada penduduk terutama di bagian-bagian
negara di Asia, Amerika Latin, dan juga Afrika dan mendorong masyarakat untuk
melakukan urbanisasi.
Cepatnya pertumbuhan kota di Asia ataupun negara di kawasan
Amerika Latin disebabkan oleh faktor ‘pendorong’ ekonomi daerah perdesaan
daripada faktor ‘penarik’ dari kota yang berarti bahwa di samping
‘over-urbanisasi’ biasanya terdapat ‘over-ruralisasi’, yaitu jumlah penduduk
yang tinggal di perdesaan lebih banyak daripada yang dapat dijamin
oleh situasi ekonominya. Selain itu, masyarakat perdesaan yang tidak
menganggur, sering tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan uang secukupnya
untuk keperluan atau kebutuhan yang membutuhkan banyak biaya dalam waktu yang
singkat. Dalam keadaan tersebut, maka banyak sekali orang-orang yang pergi ke
kota untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Di samping faktor pendorong, berikut adalah faktor-faktor
penarik dari kota untuk seseorang melakukan migrasi:
a. Daya tarik
ekonomi dari kota.
b. Pendidikan modern
sebagai usaha untuk mengangkat posisi sosial dan menciptakan pola nilai dan
pola harapan baru.
c. Fasilitas-fasilitas
sosial yang memiliki daya tarik lebih.
d. Kota memberikan
kesempatan bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk menghindarkan diri
dari kontrol sosial yang dirasa terlalu ketat, mengangkat diri dari posisi
sosial yang rendah.
e. Kota sebagai
pusat rekreasi atau hiburan yang menawarkan pengalaman baru dalam suasana yang
meriah dan hangat.
Pertambahan penduduk dalam hal ini terjadi karena adanya
perbaikan-perbaikan yang semakin besar dalam pemeliharaan kesehatan.Dalam hal
ini dapat dikatakan pula pertambahan penduduk secara alami terjadi entah itu
dari melonjaknya angka kelahiran, ataupun karena keadaan setelah perang yang
memungkinkan untuk terjadinya lonjakan penduduk di kota-kota tertentu.
Pemukiman Perdesaan dalam Konteks Kota
Meskipun faktor ini dianggap kurang penting dalam proses
urbanisasi karena kurang mendapatkan perhatian. Maksud dari pemukiman perdesaan
dalam konteks kota yang bisa disebut dengan ‘urbanisasi pasif’ adalah apabila
perkembangan kota yang tumbuh secara horizontal, seperti yang terjadi di Asia
Selatan, maka banyak pemukiman yang aslinya berupa perdesaan lambat laun
tertarik ke dalam kehidupan kota.
Terdapat perbedaan pola interaksi dalam masyarakat
urbanisasi pasif ini yang memiliki ciri-ciri antara lain: tidak ada partisipasi
dalam kelembagaan kota dan pertentangan terhadap kekuasaan fisik kota seperti,
paksaan untuk menjual lahan atau tanah. Orang desa yang sudah meninggalkan
tempat tinggalnya akan mempunyai kecenderungan untuk tetap tinggal
di kota. Salah satu faktor penghambat mereka untuk pulang kembali dari kota ke
desa ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, kemungkinan besar urbanisasi
mengakibatkan perluasan kota, karena pusat kota juga tidak akan mampu menampung
perpindahan penduduk desa yang begitu banyak.
Perbedaan gaya hidup agraris pada masyarakat perdesaan dan
gaya hidup dagang, niaga, serta industri pada masyarakat perkotaan menjadi
salah satu dasar perbedaan di antara dua kelompok masyarakat tersebut.
Perdesaan yang baru di negara maju bersifat semakin urban seiring dengan
peningkatan lalu-lintas dan komunikasi sehingga perbedaan-perbedaan tadi lambat
laun menjadi berkurang dan perdesaan semakin mempunyai atau memperoleh
hubungan-hubungan khas urban dan mentalitas kota
Selain itu, kondisi kota sebagai lingkungan pemukiman warga
yang bersifat heterogen dan kompleks, kota juga dibenturkan oleh berbagai macam
permasalahan seperti masalah lahan atau fisik perumahan, ataupun masalah sosial
dan budaya yang saling berkaitan satu sama lain dan butuh untuk diselesaikan,
baik oleh pemerintah yang notabene adalah pengelola wilayah kota, ataupun
anggota masyarakat yang bersangkutan sendiri, contohnya:
Masalah pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini berkaitan
erat dengan masalah lain seperti penyediaan tempat pemukiman (perumahan),
lahan, tempat pekerjaan, sarana pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih,
pembuangan limbah, sampah, sarana hiburan, keindahan kota, transportasi, dll.
Masalah industrialisasi akan membawa masalah yang lain
seperti, penyediaan lahan yang cocok dan tepat untuk wilayah industri agar
tidak mengganggu kesehatan lingkungan sekitar pemukiman penduduk, pembuangan
limbah industri, termasuk dengan kemungkinan untuk terjadi berbagai pencemaran
fisik lainnya, juga masalah sosial karena industri pasti mengundang tenaga
kerja dengan segala konsekuensinya.
Masalah pengaturan ketertiban dan keamanan masyarakat,
pengaturan arus dan jaringan lalu lintas, komunikasi, transportasi, penyediaan
penerangan umum, masalah galandangan, kemiskinan di perkotaan, pelacuran dan
bermacam hal terkait dengan pelayanan masyarakat.
Dalam hal pemekaran kota atau penataan kembali fisik kota
sering terjadi penggusuran tanah ataupun rumah milik penduduk dengan berbagai
permasalahan yang mengikutinya.
Istilah lain yang muncul dari perkotaan adalah adanya
masyarakat urbis dan metropolis seperti yang ditulis oleh Mac Kaye dalam
bukunya The New Exploration (a philosophy of regional planning). Di mana
hakekat metropolis (kota besar) adalah mekanisasi, sedangkan urbis (kota biasa)
adalah kebudayaan. Masyarakat metropolis mempunyai gaya hidup atau pola hidup
yang konsumtif dan lebih menekankan pada tujuan akan aneka sarana hidup yang
materiil dan secara tidak langsung terkadang merusak tata lingkungan.
Sebaliknya, masyarakat urbis lebih cenderung memelihara nilai-nilai hidup dan
memiliki gaya hidup yang masih sedikit mirip dengan gaya hidup masyarakat
pedesaan.
Kehidupan atau suasana bekerja masyarakat urbis lebih
mengarah pada hal-hal yang berbau seni sehingga kebanyakan masyarakatnya
memiliki jiwa yang kreatif, karena di dalam daerah tempat tinggalnya juga
terdapat cukup rekreasi. Berbeda dengan masyarakat metropolis yang cenderung
membuat manusia seperti robot yang dikontrol oleh waktu. Bekerja dan bermain
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan uang, rekreasi yang banyak luntur
dan berubah menjadi dekreasi, keselamatan yang lebih diusahakan lewat akal,
sebaliknya masyarakat urbis yang masih banyak memanfaatkan hati untuk segala
macam pertimbangan.
Lain halnya dengan Clinard, Marshall B dan Robert F Meier
(1989: 58), yang memunculkan istilah Urbanism As a Way of Lifes di mana
efek dari urbanisasi menjelaskan mengenai perbedaan dalam hal penyimpangan
kebiasaan atau tingkah laku dalam area rural atau urban. Hal ini berarti
terjadi kehidupan hubungan antar pribadi, eksistensi dari berbagai perbedaan
sub-kultur, dan lemahnya atau kurangnya arus kontrol tingkah laku yang lebih
kompleks. Urbanisasi sering membawa perbedaan cara seseorang dalam berinteraksi
dengan orang lain. Urbanism sendiri adalah kompleksitas interaksi sosial yang
diwujudkan dalam cara kehidupan yang utama atau cara merasakan dunia.
Dalam hal kebudayaan (Barker, 2011: 53), yang timbul dari
adanya urbanisasi diantaranya adalah munculnya kebudayaan yang bersifat politis
karena lebih mengekspresikan pada hubungan atau relasi sosial kekuasaan kelas
dengan cara menaturalisasi tatanan sosial sebagai suatu ‘fakta’ yang tentu atau
pasti, sehingga mengaburkan relasi pendayagunaan yang ada di dalamnya. Jadi,
dapat dikatakan pula kebudayaan selalu bersifat ideologis.
Diungkapkan dengan cara ini, hubungan antara basis ekonomi
dan budaya diluar struktur bersifat mekanis dan secara ekonomis bersifat
deterministik di mana gagasan bahwa motif mencari laba dan hubungan kelas
secara langsung dapat menentukan bentuk dan makna dari produk kultural. Determinisme
ekonomi bisa berarti bahwa karena suatu perusahaan dari sebuah kota didorong
untuk mencari laba sebanyak-banyaknya maka selain dengan melakukan produksi
besar-besaran, penyebaran barang-barang produksi pun dilakukan sampai ke
desa-desa hampir secara menyeluruh. Sejalan dengan hal tersebut, menurut
rumusan pemikiran Rostow (Suwarsono, 2006: 15) dalam bukunya The Stages of
Economic Growth, dikatakan bahwa tahap dalam pembangunan ekonomi dimulai dari
tahap masyarakat tradisional dan berahir pada tahap masyarakat konsumsi massa
tinggi.
Seperti contohnya ekonomi dunia Barat (Barker, 2011: 106),
khususnya di Inggris dan Amerika yang didominasi oleh ‘Fordisme’ sebagai
praktek ekonomi dan ‘Keynesianisme’ sebagai kebijakan ekonomi
negara-bangsa.Bersamaan dengan itu, praktek-praktek ini lebih dari sekedar
stategi ekonomi karena mereka membangun prinsip pengorganisasian dan relasi
kultural keseluruhan formasi sosial. Meskipun terdapat berbagai variasi antara
ekonomi dan negara-bangsa, parameter yang lebih luas dari
Fordisme-Keynesainisme ditandai oleh produksi skala besar barang-barang yang
distandardisasi dalam konteks konsumsi massa yang memerlukan suatu sistem
dengan upah yang relatif tinggi, paling tidak bagi apra pekerja ini, yang tidak
hanya terjadi di negeri susu dan madu, karena yang bekerja bersama pekerjaan
inti berupah yang relatif tinggi itu adalah sektor berupah rendah serperti
contohnya di Indonesia adalah para buruh desa.
Perbedaan-perbedaan dan permasalahan-permasalahan yang
timbul di dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya urbanisasi tersebut
akhirnya menjurus ke arah yang dinamakan denganstratifikasi sosial dan lebih
luas lagi dapat dianalisa salah satunya adalah teori fungsionalisme
strutktural.Sebagaimana yang dikemukakan Merton (1975: 22), yaitu:
Aspek-aspek sosiologi yang biasa digunakan sebagai
tanda-tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk krisis ialah: perubahan dan
pertikaian doktrin yang diikuti oleh ketegangan yang semakin parah, dan
kadangkala pertentangan yang kasar, di antara para praktisi pertikaian tersebut
mencakup tuntutan yang kuat bahwa paradigma yang ada tidak lagi mampu
memecahkan masalah yang seharusnya, dalam prinsip, dapat mereka pecahkan.
Davis dan Moore menjelaskan bahwa stratifikasi sosial
menurut mereka merupakan sebuah fenomena universal dan merupakan hal yang
penting. Semua masyarakat terstratifikasi dan tidak ada sama sekali yang
dinamakan kesamaan kelas. Menurut mereka, stratifikasi merupakan sebuah
struktur, dan stratifikasi tidak menunjukkan serta mengacu pada individu yang
berada dalam sebuah sistem stratifikasi, tetapi lebih pada sistem posisi atau
kedudukan.
Pendangan tersebut menunjukkan bahwa masalah fungsional yang
utama adalah proses atau cara yang bagaimana masyarakat untuk memotivasi dan
menempatkan individu pada posisi mereka masing-masing secara tepat. Tiga alasan
mendasar yang menjadi masalah ketika penempatan sosial yang tepat dalam
masyarakat, yaitu:
Adanya pemikiran bahwa posisi tertentu lebih menyenangkan
dibandingkan posisi yang lain.
Adanya pemikiran yang menunjukkan bahwa posisi tertentu
lebih penting dalam menjaga kelangsungan kehidupan di dalam masyarakat
dibandingkan dengan posisi yang lain.
Butuh kemampuan dan bakat yang lebih serta berbeda karena
posisi-posisi sosial yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut pandangan Parsons (Ritzer, 2010: 123),
terdapat problem dalam fungsionalisme struktural, yaitu:
Adanya saling ketergantungan antara bagian-bagian dan
memiliki keteraturan dalam sistem tersebut.
Kecenderungan sistem untuk bergerak ke arah yang menuju pada
keteraturan-diri atau keseimbangan di mana masalah keseimbangan ini lebih
merupakan persoalan yanag empiris.
Dalam proses perubahan yang teratur, sistem bisa jadi statis
ataupun bergerak.
Suatu sistem yang didalamnya terdapat sifat dasar memiliki
pengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lainnya.
Batas-batas dengan lingkungannya yang dipelihara oleh
sistem.
Perlunya proses fundamental seperti alokasi dan integrasi
untuk memelihara keseimbangan sistem.
Adanya kecenderungan sistem untuk menuju ke arah
keseimbangan diri dalam pemeliharaan meliputi pemeliharaan hubungan dan batas
antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, serta pengendalian lingkungan
yang berbeda-beda dan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.