Efek Urbanisasi Terhadap Kehidupan Masyarakat Perkotaan

Definisi mengenai kota yang sangat terkenal dikemukakan oleh Wirth. Ia merumuskan kota adalah pemukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, dihuni oleh individu-individu atau orang-orang yang bersifat heterogen dalam kedudukan sosialnya. Oleh karena, jumlah penduduk dan kepadatannya, keadaan daerahnya yang merupakan tempat tinggal permanen dan sifat heterogen di perkotaan, maka hubungan atau interaksi sosial yang ada menjadi sangat luas dan longgar, cenderung acuh dan tidak pribadi (impersonal relations).


Masyarakat perkotaan (urban community) dan masyarakat perdesaan (rural community) dalam masyarakat modern seringkali dibedakan walaupun dalam masyarakat modern, sekecil apapun suatu desa, pasti ada pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat yang bersahaja relatif tidak ada pengaruh dari kota yang masuk. Suatu warga masyarakat perdesaan mempunyai hubungan atau keterkaitan antara individu yang lebih kuat dan erat daripada hubungan dengan anggota masyarakat lain. Sistem kehidupan di masyarakat perdesaan biasanya  berkelompok dan berasaskan kekeluargaan dengan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. 

Terdapat perbedaan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan khususnya perbedaan akan keperluan atau kebutuhan hidup. Di desa yang diutamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama kehidupan, hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah dan sebagainya.  Berbeda dengan orang kota yang mempunyai perbedaan pandangan. Penduduk kota sudah memandang pemenuhan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya (lebih ke pencitraan).

Selain itu, masyarakat perkotaan adalah masyarakat kota yang jumlah penduduknya tidak tentu serta memiliki sifat dan ciri kehidupan yang berbeda dari masyarakat perdesaan. Sehubungan dengan perbedaan yang ada dalam masyarakat perkotaan dengan masyarakat perdesaan, maka perlu disinggung pula mengenai urbanisasi yang merupakan proses perpindahan penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan proses terjadinya masyarakat perkotaan serta modernisasi yang selalu ada bersamaan dengan urbanisasi.

Menurut Evers, Dieter (1982: 49), urbanisasi merupakan salah satu proses tercepat diantara proses perubahan sosial yang terjadi di seluruh dunia. Transformasi-transformasi sosial dan demografis bersamaan dengan tumbuhnya penduduk kota dunia yang selalu meningkat drastis. Dari urbanisasi tersebut akhirnya juga dapat menyebabkan perubahan struktur sosial dalam masyarakat pula.

Secara umum, urbanisasi diartikan sebagai suatu proses, sebagian atau masyarakat dalam skala besar dari penduduk suatu wilayah untuk berdiam di pusat-pusat kota. Atau dapat juga urbanisasi didefinisikan sebagai:
1.      Arus perpindahan masyarakat ke kota;
2.      Pertambahan besar akan jumlah tenaga kerja non-agraris di sektor industri dan sektor tersier lainnya;
3.      Tumbuhnya pemukiman menjadi kota;
4.      Semakin luasnya pengaruh kota di daerah pedesaan dari segi ekonomi, sosial, kebudayaan, dan psikologi.
Dalam ilmu pengetahuan sosial lainnya, urbanisasi juga diartikan sebagai penambahan proses-proses yang bersifat kekotaan.

Terdapat hubungan positif dan nyata antara urbanisasi, industrialisasi, dan pendapatan perkapita.Selain itu, urbanisasi juga dikaitkan dengan adanya masyarakat modern dan ketergantungan dari masyarakat modern itu sendiri terhadap urbanisasi yang umumnya terjadi bersama-sama dengan modernisasi. Karena urbanisasi sendiri memperpendek proses modernisasi dalam berbagai cara. Misalnya, menyediakan kontrol politik yang dipusatkan, merangsang pendidikan dan “melek” huruf, mempermudah koordinasi, dan menghancurkan faham kedaerahan yang sempit. 

Proses urbanisasi boleh dikatakan terjadi di seluruh dunia, baik negara-negara maju ataupun yang belum. Urbanisasi selain mempunyai akibat positif juga mempunyai akibat-akibat negatif terutama disebabkan oleh negara agraris contohnya Indonesia.Hal tersebut salah satunya disebabkan sangat rendahnya produksi pertanian apabila dibandingkan dengan jumlah manusia yang digunakan dalam kegiatan produksi tersebut. Faktor kepadatan penduduk dalam suatu daerah over-populationmerupakan gejala umum di negara agraris yang secara ekonomis masih terbelakang. Proses dari urbanisasi ini dapat terjadi secara lambat maupun cepat, tergantung pada keadaan masyarakat yang bersangkutan yang dalam prosesnya dapat terjadi menyangkut dua aspek, yaitu:

 Perubahan masyarakat desa menjadi masyarakat kota.
Pertambahan penduduk kota yang disebabkan oleh mengalirnya penduduk yang berasal dari desa (pada umumnya dikarenakan adanya ketertarikan dari penduduk desa terhadap keadaan kota).

Apabila dianalisis sebab-sebab pendorong masyarakat desa meninggalkan tempat tinggalnya untuk menuju ke kota pada umumnya adalah sebagai berikut:
1.      Lapangan kerja di desa yang pada umumnya berkurang.
2.      Tertekannya pemuda desa terhadap adat-istiadat yang mengakibatkan cara hidup yang monoton.
3.      Tidak banyaknya kesempatan di desa untuk menambah pengetahuan. Oleh karena itu banyak orang meninggalkan desa untuk maju.
4.      Perkembangan di desa yang sangat lambat serta reaksi yang penting di bidang spiritual yang kurang sekali dan belum tentu ada.
5.      Adanya keinginan ekspansi produksi bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain yang belum tentu diperoleh di desa.

Pendapat lainnya menurut J.W. Schoorl (1982: 266-269), terjadinya urbanisasi disebabkan oleh tiga hal salah satunya yaitu, arus perpindahan dari desa ke kota (migrasi), pertambahan penduduk secara alami, tertariknya pemukiman perdesaan ke dalam konteks kota karena perkembangan kota yang secara horizontal kuat. 

Arus perpindahan masyarakat dari desa ke kota biasanya dipandang sebagai salah satu faktor penyebab utama yang menjadi dasar proses urbanisasi. Faktor pendorongnya salah satunya adalah kemiskinan di desa-desa yang disebabkan cepatnya pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan kecepatan pertambahan persediaan tanah pertanian baru, mekanisasi pertanian dan terdesaknya kerajinan rumah di desa-desa oleh produk industri modern.Tekanan terhadap penduduk desa ini sangat terasa pada penduduk terutama di bagian-bagian negara di Asia, Amerika Latin, dan juga Afrika dan mendorong masyarakat untuk melakukan urbanisasi.

Cepatnya pertumbuhan kota di Asia ataupun negara di kawasan Amerika Latin disebabkan oleh faktor ‘pendorong’ ekonomi daerah perdesaan daripada faktor ‘penarik’ dari kota yang berarti bahwa di samping ‘over-urbanisasi’ biasanya terdapat ‘over-ruralisasi’, yaitu jumlah penduduk yang tinggal di perdesaan lebih banyak  daripada yang dapat dijamin oleh situasi ekonominya. Selain itu, masyarakat perdesaan yang tidak menganggur, sering tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan uang secukupnya untuk keperluan atau kebutuhan yang membutuhkan banyak biaya dalam waktu yang singkat. Dalam keadaan tersebut, maka banyak sekali orang-orang yang pergi ke kota untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Di samping faktor pendorong, berikut adalah faktor-faktor penarik dari kota untuk seseorang melakukan migrasi:
a.       Daya tarik ekonomi dari kota.
b.      Pendidikan modern sebagai usaha untuk mengangkat posisi sosial dan menciptakan pola nilai dan pola harapan baru.
c.       Fasilitas-fasilitas sosial yang memiliki daya tarik lebih.
d.      Kota memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang dirasa terlalu ketat, mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah.
e.       Kota sebagai pusat rekreasi atau hiburan yang menawarkan pengalaman baru dalam suasana yang meriah dan hangat.

Pertambahan penduduk dalam hal ini terjadi karena adanya perbaikan-perbaikan yang semakin besar dalam pemeliharaan kesehatan.Dalam hal ini dapat dikatakan pula pertambahan penduduk secara alami terjadi entah itu dari melonjaknya angka kelahiran, ataupun karena keadaan setelah perang yang memungkinkan untuk terjadinya lonjakan penduduk di kota-kota tertentu.

 Pemukiman Perdesaan dalam Konteks Kota
Meskipun faktor ini dianggap kurang penting dalam proses urbanisasi karena kurang mendapatkan perhatian. Maksud dari pemukiman perdesaan dalam konteks kota yang bisa disebut dengan ‘urbanisasi pasif’ adalah apabila perkembangan kota yang tumbuh secara horizontal, seperti yang terjadi di Asia Selatan, maka banyak pemukiman yang aslinya berupa perdesaan lambat laun tertarik ke dalam kehidupan kota.

Terdapat perbedaan pola interaksi dalam masyarakat urbanisasi pasif ini yang memiliki ciri-ciri antara lain: tidak ada partisipasi dalam kelembagaan kota dan pertentangan terhadap kekuasaan fisik kota seperti, paksaan untuk menjual lahan atau tanah. Orang desa yang sudah meninggalkan tempat tinggalnya akan  mempunyai kecenderungan untuk tetap tinggal di kota. Salah satu faktor penghambat mereka untuk pulang kembali dari kota ke desa ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, kemungkinan besar urbanisasi mengakibatkan perluasan kota, karena pusat kota juga tidak akan mampu menampung perpindahan penduduk desa yang begitu banyak.

Perbedaan gaya hidup agraris pada masyarakat perdesaan dan gaya hidup dagang, niaga, serta industri pada masyarakat perkotaan menjadi salah satu dasar perbedaan di antara dua kelompok masyarakat tersebut. Perdesaan yang baru di negara maju bersifat semakin urban seiring dengan peningkatan lalu-lintas dan komunikasi sehingga perbedaan-perbedaan tadi lambat laun menjadi berkurang dan perdesaan semakin mempunyai atau memperoleh hubungan-hubungan khas urban dan mentalitas kota

Selain itu, kondisi kota sebagai lingkungan pemukiman warga yang bersifat heterogen dan kompleks, kota juga dibenturkan oleh berbagai macam permasalahan seperti masalah lahan atau fisik perumahan, ataupun masalah sosial dan budaya yang saling berkaitan satu sama lain dan butuh untuk diselesaikan, baik oleh pemerintah yang notabene adalah pengelola wilayah kota, ataupun anggota masyarakat yang bersangkutan sendiri,  contohnya:

 Masalah pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini berkaitan erat dengan masalah lain seperti penyediaan tempat pemukiman (perumahan), lahan, tempat pekerjaan, sarana pendidikan, kesehatan, penyediaan air bersih, pembuangan limbah, sampah, sarana hiburan, keindahan kota, transportasi, dll.
Masalah industrialisasi akan membawa masalah yang lain seperti, penyediaan lahan yang cocok dan tepat untuk wilayah industri agar tidak mengganggu kesehatan lingkungan sekitar pemukiman penduduk, pembuangan limbah industri, termasuk dengan kemungkinan untuk terjadi berbagai pencemaran fisik lainnya, juga masalah sosial karena industri pasti mengundang tenaga kerja dengan segala konsekuensinya.
Masalah pengaturan ketertiban dan keamanan masyarakat, pengaturan arus dan jaringan lalu lintas, komunikasi, transportasi, penyediaan penerangan umum, masalah galandangan, kemiskinan di perkotaan, pelacuran dan bermacam hal terkait dengan pelayanan masyarakat.
Dalam hal pemekaran kota atau penataan kembali fisik kota sering terjadi penggusuran tanah ataupun rumah milik penduduk dengan berbagai permasalahan yang mengikutinya. 

 Istilah lain yang muncul dari perkotaan adalah adanya masyarakat urbis dan metropolis seperti yang ditulis oleh Mac Kaye dalam bukunya The New Exploration (a philosophy of regional planning). Di mana hakekat metropolis (kota besar) adalah mekanisasi, sedangkan urbis (kota biasa) adalah kebudayaan. Masyarakat metropolis mempunyai gaya hidup atau pola hidup yang konsumtif dan lebih menekankan pada tujuan akan aneka sarana hidup yang materiil dan secara tidak langsung terkadang merusak tata lingkungan. Sebaliknya, masyarakat urbis lebih cenderung memelihara nilai-nilai hidup dan memiliki gaya hidup yang masih sedikit mirip dengan gaya hidup masyarakat pedesaan.

Kehidupan atau suasana bekerja masyarakat urbis lebih mengarah pada hal-hal yang berbau seni sehingga kebanyakan masyarakatnya memiliki jiwa yang kreatif, karena di dalam daerah tempat tinggalnya juga terdapat cukup rekreasi. Berbeda dengan masyarakat metropolis yang cenderung membuat manusia seperti robot yang dikontrol oleh waktu. Bekerja dan bermain dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan uang, rekreasi yang banyak luntur dan berubah menjadi dekreasi, keselamatan yang lebih diusahakan lewat akal, sebaliknya masyarakat urbis yang masih banyak memanfaatkan hati untuk segala macam pertimbangan.

Lain halnya dengan Clinard, Marshall B dan Robert F Meier (1989: 58), yang memunculkan istilah Urbanism As a Way of Lifes di mana efek dari urbanisasi menjelaskan mengenai perbedaan dalam hal penyimpangan kebiasaan atau tingkah laku dalam area rural atau urban. Hal ini berarti terjadi kehidupan hubungan antar pribadi, eksistensi dari berbagai perbedaan sub-kultur, dan lemahnya atau kurangnya arus kontrol tingkah laku yang lebih kompleks. Urbanisasi sering membawa perbedaan cara seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Urbanism sendiri adalah kompleksitas interaksi sosial yang diwujudkan dalam cara kehidupan yang utama atau cara merasakan dunia.

Dalam hal kebudayaan (Barker, 2011: 53), yang timbul dari adanya urbanisasi diantaranya adalah munculnya kebudayaan yang bersifat politis karena lebih mengekspresikan pada hubungan atau relasi sosial kekuasaan kelas dengan cara menaturalisasi tatanan sosial sebagai suatu ‘fakta’ yang tentu atau pasti, sehingga mengaburkan relasi pendayagunaan yang ada di dalamnya. Jadi, dapat dikatakan pula kebudayaan selalu bersifat ideologis.

Diungkapkan dengan cara ini, hubungan antara basis ekonomi dan budaya diluar struktur bersifat mekanis dan secara ekonomis bersifat deterministik di mana gagasan bahwa motif mencari laba dan hubungan kelas secara langsung dapat menentukan bentuk dan makna dari produk kultural. Determinisme ekonomi bisa berarti bahwa karena suatu perusahaan dari sebuah kota didorong untuk mencari laba sebanyak-banyaknya maka selain dengan melakukan produksi besar-besaran, penyebaran barang-barang produksi pun dilakukan sampai ke desa-desa hampir secara menyeluruh. Sejalan dengan hal tersebut, menurut rumusan pemikiran Rostow (Suwarsono, 2006: 15) dalam bukunya The Stages of Economic Growth, dikatakan bahwa tahap dalam pembangunan ekonomi dimulai dari tahap masyarakat tradisional dan berahir pada tahap masyarakat konsumsi massa tinggi.

Seperti contohnya ekonomi dunia Barat (Barker, 2011: 106), khususnya di Inggris dan Amerika yang didominasi oleh ‘Fordisme’ sebagai praktek ekonomi dan ‘Keynesianisme’ sebagai kebijakan ekonomi negara-bangsa.Bersamaan dengan itu, praktek-praktek ini lebih dari sekedar stategi ekonomi karena mereka membangun prinsip pengorganisasian dan relasi kultural keseluruhan formasi sosial. Meskipun terdapat berbagai variasi antara ekonomi dan negara-bangsa, parameter yang lebih luas dari Fordisme-Keynesainisme ditandai oleh produksi skala besar barang-barang yang distandardisasi dalam konteks konsumsi massa yang memerlukan suatu sistem dengan upah yang relatif tinggi, paling tidak bagi apra pekerja ini, yang tidak hanya terjadi di negeri susu dan madu, karena yang bekerja bersama pekerjaan inti berupah yang relatif tinggi itu adalah sektor berupah rendah serperti contohnya di Indonesia adalah para buruh desa.

Perbedaan-perbedaan dan permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya urbanisasi tersebut akhirnya menjurus ke arah yang dinamakan denganstratifikasi sosial dan lebih luas lagi dapat dianalisa salah satunya adalah teori fungsionalisme strutktural.Sebagaimana yang dikemukakan Merton (1975: 22), yaitu:
Aspek-aspek sosiologi yang biasa digunakan sebagai tanda-tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk krisis ialah: perubahan dan pertikaian doktrin yang diikuti oleh ketegangan yang semakin parah, dan kadangkala pertentangan yang kasar, di antara para praktisi pertikaian tersebut mencakup tuntutan yang kuat bahwa paradigma yang ada tidak lagi mampu memecahkan masalah yang seharusnya, dalam prinsip, dapat mereka pecahkan.

Davis dan Moore menjelaskan bahwa stratifikasi sosial menurut mereka merupakan sebuah fenomena universal dan merupakan hal yang penting. Semua masyarakat terstratifikasi dan tidak ada sama sekali yang dinamakan kesamaan kelas. Menurut mereka, stratifikasi merupakan sebuah struktur, dan stratifikasi tidak menunjukkan serta mengacu pada individu yang berada dalam sebuah sistem stratifikasi, tetapi lebih pada sistem posisi atau kedudukan.

Pendangan tersebut menunjukkan bahwa masalah fungsional yang utama adalah proses atau cara yang bagaimana masyarakat untuk memotivasi dan menempatkan individu pada posisi mereka masing-masing secara tepat. Tiga alasan mendasar yang menjadi masalah ketika penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat, yaitu:

Adanya pemikiran bahwa posisi tertentu lebih menyenangkan dibandingkan posisi yang lain.
Adanya pemikiran yang menunjukkan bahwa posisi tertentu lebih penting dalam menjaga kelangsungan kehidupan di dalam masyarakat dibandingkan dengan posisi yang lain.
Butuh kemampuan dan bakat yang lebih serta berbeda karena posisi-posisi sosial yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut pandangan Parsons (Ritzer, 2010: 123), terdapat problem dalam fungsionalisme struktural, yaitu:
 Adanya saling ketergantungan antara bagian-bagian dan memiliki keteraturan dalam sistem tersebut.
Kecenderungan sistem untuk bergerak ke arah yang menuju pada keteraturan-diri atau keseimbangan di mana masalah keseimbangan ini lebih merupakan persoalan yanag empiris.
Dalam proses perubahan yang teratur, sistem bisa jadi statis ataupun bergerak.
Suatu sistem yang didalamnya terdapat sifat dasar memiliki pengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lainnya.

Batas-batas dengan lingkungannya yang dipelihara oleh sistem.
Perlunya proses fundamental seperti alokasi dan integrasi untuk memelihara keseimbangan sistem.
Adanya kecenderungan sistem untuk menuju ke arah keseimbangan diri dalam pemeliharaan meliputi pemeliharaan hubungan dan batas antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, serta pengendalian lingkungan yang berbeda-beda dan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.





Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Perkembangan Mental Individu

Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin agar di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta berkepribadian baik.

Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak. Karenanya keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya, institusi terkesil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga .


Akibat pengaruh globalisasi yang makin menguat di setiap aspek kehidupan, banyak bangsa-bangsa di dunia yang tidak berkarakter kehilangan jati dirinya. Tanpa di sadari budaya telah mengalami pergeseran (akulturasi). Semula batas budaya barat dan timur terlihat jelas, namun sekarang ini yang terjadi budaya luar secara permisif berbaur dengan budaya lokal. Kondisi yang demikian menjadi berbahaya ttakala budaya buruk dari luar ditelan mentah-mentah oleh anak-anak dalam sebuah keluarga. Seperti budaya kekerasan, minum minuman keras, penyalahgunaan narkoba atau seks bebas. Disinilah peran orang tua ditantang untuk mampu mengembalikan karakter anak dalam kapasitas agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.

Membicarakan kelangsungan hidup dimuka bumi ini adalah membicarakan manusia, karena manusia merupakan makhluk paling dominan dalam kehidupan dan lebih khusus untuk kelangsungan hidup masa dengan tergantung pada anak sebagai generasi penerus. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita dan perjuangan bangsa. Disamping itu anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan. 

Tentang apa saja hak anak, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi No. 44/25 tentang konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child) tertanggal 20 November 1989. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan presiden nomor 36 tahun 1990. sekarang ini Indonesia sudah mempunyai UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang didalamnya memuat 4 hak dasar anak yaitu:
1. Hak untuk memperoleh keberlangsungan hidup
2. Hak untuk tumbuh dan berkembang
3. Hak untuk berpartisipasi
4. Hak untuk memperoleh perlindungan

Secara lebih terinci ada sebelas hak yang dimiliki oleh anak antara lain : (1) hak untuk didaftar sejak kelahirannya, hak atas nama, memperoleh kewarganegaraan dan sejauh mungkin mengetahui dan dipelihara oleh orang tuanya ; (2) hak mempertahankan identitas ; (3) hak tidak dipisahkan dengan orang tua ; (4) hak berhubungan dengan orang tua ; (5) hak menyatakan pendapat, kemerdekaan berpikir, beragama ; (6) hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul ; (7) hak memperoleh bantuan khusus dari negara bagi anak yang kehilangan lingkungan keluarga ; (8) hak menikmati norma kesehatan tertinggi dan hak memperoleh pendidikan ;(9) hak memperoleh pemeliharaan, perawatan serta perlindungan ; (10) hak untuk beristirahat, bersantai, bermain dan hak untuk turut serta dalam kegiatan rekreasi dan ; (11) hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual dan kegiatan yang bersifat pornografis serta pemakaian narkoba.

Hak-hak anak tersebut perlu diwujudkan agar tumbuh kembang anak dapat berlangsung optimal. Dengan adannya hak-hak tersebut sudah barang tentu menjadi kewajiban keluarga, masyarakat dan bangsa (termasuk didalamnya institusi pendidikan) untuk memenuhinya.
Keberhasilan bangsa ini dalam mencetak generasi yang berkwalitas menurut Sri Mirmaning Tyas (2005:10) sesungguhnya tidak dapat hanya disandarkan pada institusi pendidikan semata. Peran masyarakat luas, keluarga besar, pemerintah, swasta, dunia bisnis hingga orang tua sendiri perlu dimaksimalkan. Mendasarkan pada hak dasar anak maka hak yang paling sering diabaikan adalah hak partisipasi anak dalam menentukan arah perkembangan dirinya. Orang dewasa, guru, orang tua, pendidik seringh kali merasa lebih berhak menentukan apa yang terbaik bagi anak tanpa mempertimbangkan basis karakter anak. Sehingga yang terjadi kemudian amat banyak orang tua yang “Gagal” didik sejak kecil itu, melahirkan anak-anak yang “Gagal” seperti dirinya.


Membangun karakter berarti mendidik. Untuk berpikir tentang pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, dan merawatnya jangan sampai kena hama pengganggu . 

Membangun karakter anak, yang tidak lain adalah mendidik kejiwaan anak, tidak semudah dan sesederhana menanam bibit. Anak adalah aset keluarga, yang sekaligus aset bagsa. Membesarkan fisik anak, masih dapat dikatakan jauh lebih mudah dengan mendidik ajiwa karena pertumbuhanya dapat dengan langsung diamati, sedangkan perkembangan jiwa hanya diamati melalui pantulannya.
.

karakter atau watak seseorang dapat diamati dalam dua hal, yaitu sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Jadi sikap sesorang termasuk anak-anak, tidak dapat diketahui apabila tidak ada rangsangan dari luar. Rangsangan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain cara menyampaikan, waktu terjadinya, pemberian rangsangan dan cara memberikan rangsangan. Dengan demikian maka pemebntukan sikap yang selanjutnya merupakan pembetuk karekter atau watak anak, juga sangat tergantung dari rangsangan pendidikan yang diberikan oleh pendidik.

Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak.

Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhn anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa .


Terdapat tiga teori perkembangan yang diyakini menentukan hasil jadi seorang anak. Pertama, teori tabula rasa, yakni teori yang menyatakan bahwa hasil jadi seorang anak sangat ditentukan seperti apa dia dididik. Teori ini mengibaratkan anak sebagai kertas putih yang kosong, tergantung siapa yang menulis dan melukisnya. Menulis dengan rapi atau dengan mencoret-coret bahkan diremas hingga kumal. Semua tergantung yang memegang kandali atas kertas putih tersebut.

Kedua, teori genotype, yang menyatakan bahwa hasil akhir seorang anak sangat ditentukan oleh gen (sifat, karakter, biologis) orang tuanya. Pepatah sering mendukung teori ini dengan perumpamanaan : air hujan mengalir tak jauh dari atapnya. Sifat kareakter, hingga yang lebih ekstrim lagi nasib anak-anak dianggap tidak akan jauh dari situasi orang tuanya. Penganut paham ini sangat kenatar jika sampai pada keputusan menentukan jodoh anak-anaknya. Orang tuanya cocok, maka hubungan anaknya boleh berlanjut, namun jika tidak cocok maka biasanya orang tua tidak akan memberi restu hubungan anaknya.

Ketiga, teori gabungan yang menggabungkan 2 karakter di atas di tambah denagn faktor mileu (lingkungan ). Teori ini banyak dipakai oleh para psikolog maupun pengembang pendidikan. Teori ini meyakini bahwa hasil akhir seorang anak ditentukan oleh tiga hal: faktor orang tua, faktor pendidkan dan faktor lingkungan. Banyak faktor lingkungan yakni dengan siapa dia bergaul, bergaul, pengaruh orang-orang dekat, paling diyakini sangat efektif mempengaruhi perkembangan anak

Membangun karakter anak dengan demikian dibutuhkan upaya serius dari berbagai pihak terutama keluarga untuk mengkondidikan ketiga faktor di atas agar kondusif untuk tumbuh kembang anak. Pendidikan karakter pada anak harus siarahkan agar anak memiliki jiwa mandiri, bertanggung jawab dan mengenal sejak dini untuk dapat membedakan hal yang baik dan buruk, benar-salah, hak-batil, angkara murka-bijaksana, perilaku hewani dan manusiawi .


Anak adalah individu yang unik. Banyak yang menagatkan bahwa anak adalah miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betulbetul unik. Mereka belum banyak memiliki sejarah masa lal. Pengalaman mereka sangat terbatas.

Di sinilah peran orang tua yang memiliki pengalaman hidup lebih banyak sangat dibutuhkan membimbing dan mendidik anaknya. Apabila dikaitkan dengan hak-hak anak, tugas dan tanggung jawab orang tua antara lain :
1. Sejak dilahirkan mengasuh dengan kasih sayang.
2. Memelihara kesehatan anak.
3. Memberi alat-alat permainan dan kesempatan bermain.
4. Menyekolahkan anak sesuia dengan keinginan anak.
5. Memberikan pendidikan dalam keluarga, sopan santun, sosial, mental dan juga pendidikan keagamaan serta melindungi tindak kekerasan dari luar.
6. Memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan dan berpendapat sesuai dengan usia anak.

Atas dasar itu orang tua yang bijaksana ankan mengajak anak sejak dini untuk berinteraksi denagn lingkungan sekitar. Saat itulah pendidikan karakter diberikan. Mengenal anak akan perbedaan di selilingnya dan diliatkan dalam tanggung jawab hidup sehari-hari, merupakan sarana anak untuk belajar menghargai perbedaan di sekelilingnya dan mengembangkan karakter di tengah berkembangnya masyarakat. Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan niali-nilai universal seperti cara menghargai orang lain, berbuat adil pada diri sendiri dan orang lain, bersedia memanfaatkan orang lain.

Bapak ibu sebagai orang tua anak, adalah contph keteladanan dan perilaku bagi anak. Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian besar, sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita adalah tiang negara. Manakala wanitanya baik maka baiklah negara. Manakala wanitanya rusak, maka rusaklah negara”.

Sementara itu sang bapak sebagai kepala keluarga juga harus mampu menajdi teladan yang baik. Karena ayah yang terlibat hubungan dengan anaknya sejak awal akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, kemampuan, menolong diri sendiri, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak lain. Kedekatan dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak.

Begitu besarnya peran orang tua dalam pembentukan karakter dan tumbuh kembang anak, sudah sewajarnya apabila orang tua perlu menerapkan pola asuh yang seimbang (authoritative) pada anak, bukan pola asuh yang otoriter atau serba membolehkan (permissive).

Pola asuh yang seimbang (authoritative) akan selalu menghargai individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan. Mereka dangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka sepenuhnya mengahrgai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan cinta kasih, mudah memerinci tetapi menuntut tingkah laku yang baik. Tegas dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang mereka lakukan dan minta pendapat anak.

Anak dari orang tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajdi paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah akan menunjukkan sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas dan suka eksplorasi. Kondisi yeng demikian itu tidak akan didapatkan anak bila orang tuanya menerapkan pola asuh otoriter atau permisif. Karena anak-anak di bawah asuhan otoriter akan menjadi pendiam, Penakut dan tidak percaya pada diri mereka sendiri. Sementara anak-anak yang diasuh dengan model permisif akan menajdi anak yang tidak mengenal aturan dan norma serta idak memiliki rasa tanggung jawab.Dengan berkaca pada kondisi saat ini, sudah saatnya orang tua sekarang mengambil peran lebih untuk mengembangkan karakter dan memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal agar anak menjadi manusia berkualitas.


Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak, jadi dalam lingkungan keluargalah watak dan kepribadian anak akan dibentuk yang sekaligus akan mempengaruhi perkembangannya di masa depan.

Di mata anak, orang tu (ayah ibu) adalah figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anak-anaknya. Oleh sebab itu, ayah ibu harus mampu memberi contoh yang baik pada anak-anaknya, memberi pengasuhan yang benar serta mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dalam batasan yang wajar.

Dengan memainkan peranan yang benar dalam mendidik dan mengasuh anak, anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Dan yang tidak kalah pentingnya, anak akan tumbuh menjadi anak yang berkarakter tidak mudah larut oleh budaya buruk dari luar serta menjadi anak yang berkepribadian baik sebagai aset generasi penerus bangsa di masa depan.