Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup,
kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak
perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik
sebaik mungkin agar di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang
berkarakter serta berkepribadian baik.
Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak. Karenanya
keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya, institusi terkesil
dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu
anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan
individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu
tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak
hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal
mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga .
Akibat pengaruh globalisasi yang makin menguat di setiap
aspek kehidupan, banyak bangsa-bangsa di dunia yang tidak berkarakter
kehilangan jati dirinya. Tanpa di sadari budaya telah mengalami pergeseran
(akulturasi). Semula batas budaya barat dan timur terlihat jelas, namun
sekarang ini yang terjadi budaya luar secara permisif berbaur dengan budaya lokal.
Kondisi yang demikian menjadi berbahaya ttakala budaya buruk dari luar ditelan
mentah-mentah oleh anak-anak dalam sebuah keluarga. Seperti budaya kekerasan,
minum minuman keras, penyalahgunaan narkoba atau seks bebas. Disinilah peran
orang tua ditantang untuk mampu mengembalikan karakter anak dalam kapasitas
agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya.
Membicarakan kelangsungan hidup dimuka bumi ini adalah membicarakan manusia,
karena manusia merupakan makhluk paling dominan dalam kehidupan dan lebih
khusus untuk kelangsungan hidup masa dengan tergantung pada anak sebagai
generasi penerus. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita
dan perjuangan bangsa. Disamping itu anak merupakan sumber daya manusia yang
perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan
agar supaya hak-haknya tidak terabaikan.
Tentang apa saja hak anak, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan
resolusi No. 44/25 tentang konvensi hak-hak anak (Convention on the Rights of
the Child) tertanggal 20 November 1989. Konvensi ini telah diratifikasi
Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan keputusan presiden nomor 36 tahun
1990. sekarang ini Indonesia sudah mempunyai UU No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak yang didalamnya memuat 4 hak dasar anak yaitu:
1. Hak untuk memperoleh keberlangsungan hidup
2. Hak untuk tumbuh dan berkembang
3. Hak untuk berpartisipasi
4. Hak untuk memperoleh perlindungan
Secara lebih terinci ada sebelas hak yang
dimiliki oleh anak antara lain : (1) hak untuk didaftar sejak kelahirannya, hak
atas nama, memperoleh kewarganegaraan dan sejauh mungkin mengetahui dan dipelihara
oleh orang tuanya ; (2) hak mempertahankan identitas ; (3) hak tidak dipisahkan
dengan orang tua ; (4) hak berhubungan dengan orang tua ; (5) hak menyatakan
pendapat, kemerdekaan berpikir, beragama ; (6) hak kemerdekaan berserikat dan
berkumpul ; (7) hak memperoleh bantuan khusus dari negara bagi anak yang
kehilangan lingkungan keluarga ; (8) hak menikmati norma kesehatan tertinggi
dan hak memperoleh pendidikan ;(9) hak memperoleh pemeliharaan, perawatan serta
perlindungan ; (10) hak untuk beristirahat, bersantai, bermain dan hak untuk
turut serta dalam kegiatan rekreasi dan ; (11) hak untuk dilindungi dari
eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual dan kegiatan yang bersifat pornografis
serta pemakaian narkoba.
Hak-hak anak tersebut perlu diwujudkan agar tumbuh kembang anak dapat
berlangsung optimal. Dengan adannya hak-hak tersebut sudah barang tentu menjadi
kewajiban keluarga, masyarakat dan bangsa (termasuk didalamnya institusi
pendidikan) untuk memenuhinya.
Keberhasilan bangsa ini dalam mencetak generasi yang berkwalitas menurut Sri
Mirmaning Tyas (2005:10) sesungguhnya tidak dapat hanya disandarkan pada
institusi pendidikan semata. Peran masyarakat luas, keluarga besar, pemerintah,
swasta, dunia bisnis hingga orang tua sendiri perlu dimaksimalkan. Mendasarkan
pada hak dasar anak maka hak yang paling sering diabaikan adalah hak
partisipasi anak dalam menentukan arah perkembangan dirinya. Orang dewasa,
guru, orang tua, pendidik seringh kali merasa lebih berhak menentukan apa yang
terbaik bagi anak tanpa mempertimbangkan basis karakter anak. Sehingga yang
terjadi kemudian amat banyak orang tua yang “Gagal” didik sejak kecil itu,
melahirkan anak-anak yang “Gagal” seperti dirinya.
Membangun karakter berarti mendidik. Untuk berpikir tentang pendidikan dapat
kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang petani yang hendak
bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, isi
pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik
diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang
petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis
bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah mempertimbangkan saat yang
tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai menabur, petani tidak boleh
diam, tetapi harus memelihara, dan merawatnya jangan sampai kena hama pengganggu
.
Membangun karakter anak, yang tidak lain adalah mendidik kejiwaan anak, tidak
semudah dan sesederhana menanam bibit. Anak adalah aset keluarga, yang
sekaligus aset bagsa. Membesarkan fisik anak, masih dapat dikatakan jauh lebih
mudah dengan mendidik ajiwa karena pertumbuhanya dapat dengan langsung diamati,
sedangkan perkembangan jiwa hanya diamati melalui pantulannya.
.
karakter atau watak seseorang dapat diamati dalam dua hal,
yaitu sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Jadi sikap sesorang termasuk
anak-anak, tidak dapat diketahui apabila tidak ada rangsangan dari luar.
Rangsangan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain cara
menyampaikan, waktu terjadinya, pemberian rangsangan dan cara memberikan
rangsangan. Dengan demikian maka pemebntukan sikap yang selanjutnya merupakan
pembetuk karekter atau watak anak, juga sangat tergantung dari rangsangan
pendidikan yang diberikan oleh pendidik.
Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik berupa tindak
kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan
hingga pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti
mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu
bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak.
Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup
telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhn anak karena sibuk mencari
nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah
menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu derasnya. Dampaknya bila
tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk dari luar. Oleh karenanya,
sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap
dan perilaku individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga,
masyarakat maupun bangsa .
Terdapat tiga teori perkembangan yang diyakini menentukan
hasil jadi seorang anak. Pertama, teori tabula rasa, yakni teori yang
menyatakan bahwa hasil jadi seorang anak sangat ditentukan seperti apa dia
dididik. Teori ini mengibaratkan anak sebagai kertas putih yang kosong,
tergantung siapa yang menulis dan melukisnya. Menulis dengan rapi atau dengan
mencoret-coret bahkan diremas hingga kumal. Semua tergantung yang memegang
kandali atas kertas putih tersebut.
Kedua, teori genotype, yang menyatakan bahwa hasil akhir seorang anak sangat
ditentukan oleh gen (sifat, karakter, biologis) orang tuanya. Pepatah sering
mendukung teori ini dengan perumpamanaan : air hujan mengalir tak jauh dari
atapnya. Sifat kareakter, hingga yang lebih ekstrim lagi nasib anak-anak
dianggap tidak akan jauh dari situasi orang tuanya. Penganut paham ini sangat
kenatar jika sampai pada keputusan menentukan jodoh anak-anaknya. Orang tuanya
cocok, maka hubungan anaknya boleh berlanjut, namun jika tidak cocok maka
biasanya orang tua tidak akan memberi restu hubungan anaknya.
Ketiga, teori gabungan yang menggabungkan 2 karakter di atas di tambah denagn
faktor mileu (lingkungan ). Teori ini banyak dipakai oleh para psikolog maupun
pengembang pendidikan. Teori ini meyakini bahwa hasil akhir seorang anak
ditentukan oleh tiga hal: faktor orang tua, faktor pendidkan dan faktor
lingkungan. Banyak faktor lingkungan yakni dengan siapa dia bergaul, bergaul,
pengaruh orang-orang dekat, paling diyakini sangat efektif mempengaruhi
perkembangan anak
Membangun karakter anak dengan demikian dibutuhkan upaya serius dari berbagai
pihak terutama keluarga untuk mengkondidikan ketiga faktor di atas agar
kondusif untuk tumbuh kembang anak. Pendidikan karakter pada anak harus
siarahkan agar anak memiliki jiwa mandiri, bertanggung jawab dan mengenal sejak
dini untuk dapat membedakan hal yang baik dan buruk, benar-salah, hak-batil,
angkara murka-bijaksana, perilaku hewani dan manusiawi .
Anak adalah individu yang unik. Banyak yang menagatkan bahwa anak adalah
miniatur dari orang dewasa. Padahal mereka betulbetul unik. Mereka belum banyak
memiliki sejarah masa lal. Pengalaman mereka sangat terbatas.
Di sinilah peran orang tua yang memiliki pengalaman hidup lebih banyak sangat
dibutuhkan membimbing dan mendidik anaknya. Apabila dikaitkan dengan hak-hak
anak, tugas dan tanggung jawab orang tua antara lain :
1. Sejak dilahirkan mengasuh dengan kasih sayang.
2. Memelihara kesehatan anak.
3. Memberi alat-alat permainan dan kesempatan bermain.
4. Menyekolahkan anak sesuia dengan keinginan anak.
5. Memberikan pendidikan dalam keluarga, sopan santun, sosial, mental dan juga
pendidikan keagamaan serta melindungi tindak kekerasan dari luar.
6. Memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan dan berpendapat sesuai dengan
usia anak.
Atas dasar itu orang tua yang bijaksana ankan mengajak anak sejak dini untuk
berinteraksi denagn lingkungan sekitar. Saat itulah pendidikan karakter
diberikan. Mengenal anak akan perbedaan di selilingnya dan diliatkan dalam
tanggung jawab hidup sehari-hari, merupakan sarana anak untuk belajar
menghargai perbedaan di sekelilingnya dan mengembangkan karakter di tengah
berkembangnya masyarakat. Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan
niali-nilai universal seperti cara menghargai orang lain, berbuat adil pada
diri sendiri dan orang lain, bersedia memanfaatkan orang lain.
Bapak ibu sebagai orang tua anak, adalah contph keteladanan dan perilaku bagi
anak. Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan
asuh. Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus
mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata,
bersikap maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian
besar, sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa “Wanita adalah tiang negara.
Manakala wanitanya baik maka baiklah negara. Manakala wanitanya rusak, maka
rusaklah negara”.
Sementara itu sang bapak sebagai kepala keluarga juga harus mampu menajdi
teladan yang baik. Karena ayah yang terlibat hubungan dengan anaknya sejak awal
akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, kemampuan, menolong diri
sendiri, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak lain. Kedekatan
dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak.
Begitu besarnya peran orang tua dalam pembentukan karakter dan tumbuh kembang
anak, sudah sewajarnya apabila orang tua perlu menerapkan pola asuh yang
seimbang (authoritative) pada anak, bukan pola asuh yang otoriter atau serba
membolehkan (permissive).
Pola asuh yang seimbang (authoritative) akan selalu menghargai individualitas
akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan. Mereka dangat
percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka sepenuhnya mengahrgai
keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta perbedaan kepribadiannya.
Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan cinta kasih, mudah memerinci
tetapi menuntut tingkah laku yang baik. Tegas dalam menjaga aturan bersedia
memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan hubungan saling
mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang mereka lakukan
dan minta pendapat anak.
Anak dari orang tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan
menajdi paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa
yang diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah akan menunjukkan
sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas dan suka eksplorasi.
Kondisi yeng demikian itu tidak akan didapatkan anak bila orang tuanya
menerapkan pola asuh otoriter atau permisif. Karena anak-anak di bawah asuhan
otoriter akan menjadi pendiam, Penakut dan tidak percaya pada diri mereka
sendiri. Sementara anak-anak yang diasuh dengan model permisif akan menajdi
anak yang tidak mengenal aturan dan norma serta idak memiliki rasa tanggung
jawab.Dengan berkaca pada kondisi saat ini, sudah saatnya orang tua sekarang
mengambil peran lebih untuk mengembangkan karakter dan memberi kesempatan untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal agar anak menjadi manusia berkualitas.
Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak, jadi dalam
lingkungan keluargalah watak dan kepribadian anak akan dibentuk yang sekaligus
akan mempengaruhi perkembangannya di masa depan.
Di mata anak, orang tu (ayah ibu) adalah figur atau contoh yang akan selalu
ditiru oleh anak-anaknya. Oleh sebab itu, ayah ibu harus mampu memberi contoh
yang baik pada anak-anaknya, memberi pengasuhan yang benar serta mencukupi
kebutuhan-kebutuhannya dalam batasan yang wajar.
Dengan memainkan peranan yang benar dalam mendidik dan mengasuh anak, anak akan
tumbuh dan berkembang secara optimal. Dan yang tidak kalah pentingnya, anak
akan tumbuh menjadi anak yang berkarakter tidak mudah larut oleh budaya buruk
dari luar serta menjadi anak yang berkepribadian baik sebagai aset generasi
penerus bangsa di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar